Kenaikan U.S. Treasury Yiled mencerminkan ekspektasi investor. Treasury yield jangka pendek dengan tenor 2 tahun, yang saat ini berada di atas 1%, merupakan yang tertinggi sejak February 2020. Yield jangka menengah dengan tenor 5 tahun maupun yield jangka panjang dengan tenor 10 tahun, juga mengalami kenaikan. Kenaikan treasury yield, sejalan dengan data inflasi yang mengalami kenaikan. Berdasarkan data terakhir yang dirilis, Consumer Prices Index (CPI) di U.S. pada bulan Desember 2021 sebesar 7% YoY atau 0,3% MoM. Kenaikan inflasi tidak hanya terjadi di U.S. namun, sejumlah negara besar dunia juga mengalami hal yang sama. Kenaikan inflasi di U.S. kemungkinan akan persistent didukung oleh data unemployment rate yang semakin menurun. Mencermati data tersebut dan juga sinyal hawkish The Fed selama Federal Open Market Committee (FOMC) meetings, investor meyakini suku bunga acuan The Fed akan mengalami kenaikan. Saat ini suku bunga acuan The Fed sebesar 0,25% dan kemungkinan akan mengalami kenaikan dalam waktu dekat. Ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed, juga didukung oleh tapering off yang semakin cepat. Oleh karena itu, untuk mengkompensasi ekpektasi kenaikan suku bunga, investor mengharapkan yield yang lebih tinggi.

Ekspektasi kenaikan suku bunga juga mempengaruhi risk appetite investor. Investor menilai, jika kebijakan The Fed untuk menaikkan suku bunga terealisasi, maka tingkat likuiditas di pasar akan berkurang sehingga pertumbuhan ekonomi akan terbatas. Hal ini tentu saja akan berdampak pada sektor rill terutama kinerja keuangan perusahaan. Biaya utang perusahaan akan meningkat sehingga peluang untuk melakukan ekspansi menjadi terbatas. Biaya utang yang meningkat, juga akan berdampak pada berkurangnya laba perusahaan. Selain itu, ekpektasi kenaikan suku bunga acuan di U.S. juga akan sangat berdampak pada capital flows terutama di negara-negara berkembang. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan indeks saham di kawasan Asia bergerak mixed namun cenderung melemah.